Tatib/Kode Etik DPD RI

Beranda

Profil

Tatib/Kode Etik DPD RI

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH KEPUTUSAN DPD RI NOMOR 2/DPD/2004 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA SEBAGAIMANA DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN DPD RI NOMOR 29/DPD/2005 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA 2005

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH KEPUTUSAN DPD RI NOMOR 2/DPD/2004 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA SEBAGAIMANA DIUBAH TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN DPD RI NOMOR 29/DPD/2005 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Tata Tertib ini yang dimaksud dengan : (1) Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dalam Bahasa Inggris disebut House of Regional Representatives of The Republic of Indonesia. (2) Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disebut MPR, adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (4) Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri. (5) Presiden adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (6) Badan Pemeriksa Keuangan, selanjutnya disebut BPK, adalah Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (7) Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah Komisi Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. (8) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(9) Pemerintah Daerah adalah perangkat daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain. (10) Anggota DPD, yang selanjutnya disebut Anggota, adalah wakil daerah provinsi yang telah bersumpah atau berjanji sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dalam melaksanakan tugasnya memperhatikan aspirasi masyarakat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB II KEDUDUKAN, SUSUNAN, FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG

Bagian Pertama Kedudukan dan Susunan

Pasal 2 DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Pasal 3 (1) DPD terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. (2) DPD mempunyai alat kelengkapan yang meliputi :

  1. Pimpinan DPD
  2. Panitia Ad Hoc;
  3. Badan Kehormatan;
  4. Panitia Musyawarah;
  5. Panitia Perancang Undang-Undang;
  6. Panitia Urusan Rumah Tangga;
  7. Panitia Kerjasama Antar-Lembaga Perwakilan; dan
  8. Panitia Khusus. (3) DPD mempunyai sebuah Sekretariat Jenderal.

Bagian Kedua Fungsi, Tugas, dan Wewenang

Pasal 4 DPD melakukan tugasnya berlan¬daskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 5 DPD mempunyai fungsi :

  1. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan, dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu;
  2. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.

Pasal 6 DPD mempunyai tugas dan wewenang:

  1. dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;

  2. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah;

  3. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

  4. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK;

  5. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai oto¬nomi daerah, pem¬ben¬tukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hu¬bungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Ne¬gara, pajak, pen¬didikan, dan agama serta menyampaikan hasil pe¬nga¬wasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;

  6. menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB III KEANGGOTAAN DAN KODE ETIK

Bagian Pertama Keanggotaan

Pasal 7 (1) Keanggotaan DPD ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (2) Anggota berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang bertempat tinggal di ibukota negara Republik Indonesia. (3) Anggota harus tetap memenuhi persyaratan keanggotaan DPD sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. (4) Sebelum memangku jabatannya, Anggota mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Sidang Paripurna DPD. (5) Anggota yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Pimpinan DPD. (6) Bunyi sumpah/janji Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5): “Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji : bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan; bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal 8 Masa jabatan Anggota adalah 5 (lima) tahun dan berakhir bersamaan pada saat Anggota yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 9 (1) Anggota berhenti antarwaktu karena:

  1. meninggal dunia;
  2. mengundurkan diri sebagai Anggota atas permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan DPD. (2) Anggota diberhentikan karena:
  3. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota;
  4. tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai Anggota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum;
  5. dinyatakan melanggar sumpah/janji, kode etik DPD, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota;
  6. melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
  7. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya 5 (lima) tahun penjara. (3) Pemberhentian Anggota yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf d dan huruf e langsung disampaikan oleh Pimpinan DPD kepada Presiden untuk diresmikan. (4) Pemberhentian Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c setelah dilakukan penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPD atas pengaduan Pimpinan DPD, masyarakat dan/atau pemilih. (5) Tata cara pengaduan, pembelaan dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 38.

Pasal 10 (1) Anggota yang berhenti atau diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) digantikan oleh calon pengganti dengan ketentuan:

  1. calon pengganti adalah calon yang memperoleh suara ter¬banyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan su¬ara calon Anggota daerah pemilihan di provinsi yang sama de¬ngan yang digantikan berdasarkan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum;
  2. apabila calon pengganti dalam daftar peringkat perolehan suara calon Anggota sebagaimana dimaksud pada huruf a mengundurkan diri atau meninggal dunia, diajukan calon pengganti yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya. (2) Anggota pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan Anggota yang digantikannya.

Pasal 11 (1) Pimpinan DPD menyampaikan kepada KPU nama Anggota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu untuk diverifikasi. (2) Pimpinan DPD setelah menerima rekomendasi KPU mengenai hasil verifikasi terhadap persyaratan calon Anggota, mengusulkan kepada Presiden untuk meresmikan pemberhentian dan pengangkatan Anggota tersebut.

(3) Peresmian pemberhentian dan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (4) Sebelum memangku jabatannya, Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh Pimpinan DPD dengan bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6). (5) Penggantian Anggota antarwaktu tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota yang diganti kurang dari 4 (empat) bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

Bagian Kedua Kode Etik

Pasal 12 (1) DPD wajib menyusun Kode Etik yang berisi norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap Anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPD. (2) Kode Etik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga memuat jenis sanksi dan mekanisme penegakan kode etik yang ditetapkan dalam Sidang Paripurna DPD. (3) Penanganan atas dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik menjadi wewenang Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39.

BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Pertama Hak DPD

Pasal 13 DPD mempunyai hak:

  1. mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a;
  2. ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b.

Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Anggota

Pasal 14 Anggota mempunyai hak:

  1. menyampaikan usul dan pendapat;
  2. memilih dan dipilih;
  3. membela diri;
  4. imunitas;
  5. protokoler; dan
  6. keuangan dan administratif.

Pasal 15 Anggota mempunyai kewajiban:

  1. mengamalkan Pancasila;

  2. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan;

  3. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;

  4. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;

  5. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;

  6. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah;

  7. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;

  8. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;

  9. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD; dan

  10. menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.

BAB V PIMPINAN DPD

Bagian Pertama Kedudukan dan Susunan

Pasal 16 Pimpinan DPD adalah alat kelengkapan DPD dan merupakan 1 (satu) kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif.

Pasal 17 (1) Pimpinan DPD terdiri atas seorang ketua dan sebanyak-banyaknya 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota dalam Sidang Paripurna DPD. (2) Pimpinan DPD mencerminkan keterwakilan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dipilih dari dan oleh Anggota dalam Sidang Paripurna DPD. (3) Keterwakilan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup 3 (tiga) wilayah yaitu wilayah barat yang meliputi pulau Sumatera, kepulauan Riau, dan kepulauan Bangka Belitung; wilayah tengah yang meliputi pulau Jawa, Bali dan Kalimantan; dan wilayah timur yang meliputi pulau Sulawesi, kepulauan Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. (4) Pimpinan DPD diresmikan dengan Keputusan DPD.

Pasal 18 (1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua DPD mengucapkan sumpah/janji dalam Sidang Paripurna yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung. (2) Bunyi sumpah/janji ketua/wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1): “Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta peraturan perundang-undangan; bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta ber¬bakti kepada bangsa dan negara; bahwa saya akan memper¬juangkan aspirasi daerah untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal 19 Pimpinan Sementara menyerahkan pimpinan kepada Pimpinan DPD terpilih, setelah Pimpinan DPD terpilih bersumpah/berjanji.

Pasal 20 (1) Masa jabatan Pimpinan DPD sama dengan masa keanggotaan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Pimpinan DPD dibantu oleh sebuah sekretariat.

Pasal 21 (1) Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), berhenti atau diberhentikan dari jabatannya karena :

  1. meninggal dunia;
  2. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
  3. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Pimpinan DPD;
  4. melanggar sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan tugas/kewajiban sebagai Pimpinan DPD berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPD; atau
  5. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman serendah-rendahnya 5 (lima) tahun penjara. (2) Dalam hal Pimpinan DPD dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan melaksanakan tugas memimpin sidang-sidang DPD dan menjadi juru bicara DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. (3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak bersalah berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum, maka Pimpinan DPD melaksanakan kembali tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.

Bagian Kedua Pimpinan Sementara

Pasal 22 (1) Selama Pimpinan DPD belum ter¬bentuk, DPD dipimpin oleh Pimpinan Sementara DPD. (2) Pimpinan Sementara DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ketua sementara, yaitu Anggota tertua usianya dan seorang wakil ketua sementara, yaitu Anggota termuda usia¬nya. (3) Dalam hal Anggota tertua dan/atau termuda usianya, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ber¬halangan, sebagai penggan¬tinya adalah Anggota tertua dan/atau Anggota termuda berikutnya.

Bagian Ketiga Tata Cara Pemilihan Ketua DPD

Pasal 23 (1) Pemilihan Pimpinan DPD dilakukan secara terpisah. (2) Pemilihan Ketua DPD dilaksanakan lebih dahulu daripada Wakil Ketua DPD.

Pasal 24 (1) Calon Ketua DPD diusulkan secara bebas dan rahasia oleh Anggota dalam Sidang Paripurna DPD. (2) Anggota hanya dapat mengusulkan 1 (satu) orang calon Ketua DPD. (3) Apabila dalam pengusulan calon Ketua DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat Anggota yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara, maka Anggota tersebut ditetapkan sebagai Ketua DPD terpilih. (4) Apabila dalam pengusulan calon Ketua DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terdapat calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara, maka Anggota yang memperoleh suara terbanyak pertama sampai dengan keenam ditetapkan sebagai calon Ketua DPD.

(5) Apabila dalam penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara, ditetapkan sebagai Ketua DPD terpilih. (6) Dalam hal penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak ada calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara, dilakukan pemilihan tahap kedua terhadap 2 (dua) calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua. (7) Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memperoleh suara terbanyak, ditetapkan sebagai Ketua DPD terpilih.

Bagian Keempat Tata Cara Pemilihan Wakil Ketua DPD

Pasal 25 (1) Tata cara pemilihan para Wakil Ketua DPD dilakukan secara bersamaan dengan memperhatikan ketentuan tentang pemilihan Ketua DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. (2) Anggota mengusulkan 1 (satu) nama calon Wakil Ketua DPD untuk masing-masing wilayah yang berbeda dengan Ketua DPD.

Bagian Kelima Pengisian Kekosongan Pimpinan DPD

Pasal 26 (1) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Ketua dan/atau Wakil Ketua DPD, DPD selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengadakan Sidang Paripurna untuk mengisi kekosongan tersebut. (2) Jika Ketua DPD berhenti atau diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), para Wakil Ketua DPD mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara Ketua DPD.

Pasal 27 (1) Pengisian kekosongan jabatan Ketua DPD dilakukan dengan pemilihan ulang terhadap para calon Ketua DPD. (2) Pengisian kekosongan jabatan Ketua DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 24. (3) Apabila para Wakil Ketua ikut mencalonkan diri dalam pemilihan Ketua, maka yang bersangkutan harus membuat pernyataan pengunduran diri secara tertulis sebagai Wakil Ketua sebelum pelaksanaan pemilihan dan kekosongan jabatan Wakil Ketua tersebut diisi melalui pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. (4) Apabila para Wakil Ketua ikut mencalonkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka pimpinan sidang untuk pemilihan Ketua dan Wakil Ketua dilaksanakan oleh peserta sidang yang tertua dan termuda usianya. (5) Dalam hal ada Wakil Ketua yang tidak ikut mencalonkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pimpinan sidang untuk pemilihan Ketua dilakukan oleh Wakil Ketua yang ada. (6) Pernyataan pengunduran diri secara tertulis dari jabatan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan pemilihan Ketua.

Bagian Keenam Tugas dan Wewenang Pimpinan DPD

Pasal 28 (1) Tugas Pimpinan DPD adalah:

  1. memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
  2. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
  3. menjadi juru bicara DPD;
  4. melaksanakan dan memasyarakatkan putusan DPD;
  5. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan hasil Rapat Koordinasi DPD;
  6. mewakili DPD dan/atau alat kelengkapan DPD di pengadilan;
  7. melaksanakan putusan DPD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  8. menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran DPD;
  9. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna DPD; (2) Pimpinan DPD tidak berwenang mengeluarkan pernyataan politik atas nama DPD dan/atau jabatannya, kecuali ditugaskan oleh DPD. (3) Pimpinan DPD dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
  10. mengadakan koordinasi terhadap pelaksanaan tugas alat kelengkapan DPD sekurang-kurangnya 1 (satu ) kali dalam 1 (satu) bulan;
  11. menghadiri rapat alat kelengkapan DPD apabila dipandang perlu;
  12. mengadakan rapat Pimpinan DPD sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan dalam rangka melaksanakan tugasnya.
  13. mengawasi pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh Panitia Urusan Rumah Tangga;
  14. membentuk Tim atas nama DPD terhadap suatu masalah mendesak yang perlu penanganan segera, setelah mengadakan konsultasi dengan Pimpinan alat kelengkapan DPD;
  15. memberi pertimbangan atas nama DPD terhadap sesuatu masalah atau pencalonan orang setelah mengadakan konsultasi dengan Pimpinan alat kelengkapan DPD. (4) Pimpinan DPD berwenang bertindak atas nama DPD hanya dalam hal-hal yang bersifat protokoler.

Pasal 29 (1) Ketua dan wakil ketua bertugas penuh di DPD. (2) Apabila ketua berhalangan, tugasnya dilaksanakan oleh wakil ketua.

BAB VI PANITIA AD HOC

Bagian Pertama Kedudukan dan Susunan

Pasal 30 (1) Panitia Ad Hoc dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD. (2) Panitia Ad Hoc dapat membentuk Tim Kerja untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya.

Pasal 31 (1) Panitia Ad Hoc terdiri atas sebanyak-banyaknya 32 (tiga puluh dua) orang Anggota yang mencerminkan keterwakilan provinsi. (2) Keanggotaan Panitia Ad Hoc ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPD pada permulaan masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD. (3) Setiap Anggota harus menjadi anggota salah 1 (satu) Panitia Ad Hoc kecuali Pimpinan DPD dan Pimpinan MPR unsur DPD. (4) Penggantian anggota Panitia Ad Hoc dapat dilakukan berdasarkan permusyawaratan Anggota dari provinsi yang bersangkutan dan diusulkan kepada Pimpinan DPD. (5) Panitia Ad Hoc dibantu oleh sebuah sekretariat.

Pasal 32 (1) Pimpinan Panitia Ad Hoc merupakan 1 (satu) kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. (2) Pimpinan Panitia Ad Hoc terdiri atas seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Panitia Ad Hoc dalam Rapat Panitia Ad Hoc yang dipimpin oleh Pimpinan DPD. (3) Pembagian tugas ketua dan wakil ketua diatur sendiri berdasarkan tugas Panitia Ad Hoc. (4) Dalam hal Pimpinan Panitia Ad Hoc berhalangan tetap, penggantian Pimpinan Panitia Ad Hoc dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Masa jabatan Pimpinan Panitia Ad Hoc selama 1 (satu) tahun sidang dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Bagian Kedua Tugas dan Wewenang

Pasal 33 (1) Tugas Panitia Ad Hoc di bidang pengajuan rancangan undang-undang adalah mengadakan persiapan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang tertentu sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab XVI. (2) Tugas Panitia Ad Hoc di bidang pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR dan/atau pemerintah adalah mengadakan persiapan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang tertentu sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab XVII. (3) Tugas Panitia Ad Hoc di bidang pertimbangan adalah:

  1. mengadakan persiapan, pembahasan, dan penyusunan pertimbangan mengenai rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab XVIII.
  2. menyusun pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 140. (4) Tugas Panitia Ad Hoc di bidang pengawasan adalah :
  3. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 150 dan Pasal 151.
  4. membahas hasil pemeriksaan BPK sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab XIX.

(5) Panitia Ad Hoc dalam melak¬sa¬na¬kan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dapat:

  1. mengadakan rapat konsultasi dengan alat kelengkapan DPR;
  2. mengadakan Rapat Kerja dengan:
  1. DPR;
  2. pemerintah;
  3. pemerintah daerah;
  4. DPRD.
  1. mengadakan Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum, baik atas permintaan Panitia Ad Hoc maupun atas permintaan pihak lain;
  2. mengadakan kunjungan kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) Masa Sidang dengan persetujuan Pimpinan DPD yang hasilnya dilaporkan dalam rapat Panitia Ad Hoc yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua alat kelengkapan DPD;
  3. mengadakan studi banding atas persetujuan Pimpinan DPD yang hasilnya dilaporkan dalam rapat Panitia Ad Hoc yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua alat kelengkapan DPD;
  4. mengadakan Rapat Gabungan Panitia Ad Hoc apabila ada masalah yang menyangkut lebih dari satu Panitia Ad Hoc;
  5. menyusun skala prioritas dan tindak lanjut hasil kunjungan kerja/studi banding sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d dan huruf e untuk disampaikan pada forum rapat koordinasi;
  6. melakukan tugas atas keputusan Sidang Paripurna dan/atau Panitia Musyawarah;
  7. mengusulkan kepada Panitia Musyawarah hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPD. (6) Panitia Ad Hoc menentukan tindaklanjut hasil pelaksanaan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). (7) Panitia Ad Hoc membuat inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Ad Hoc pada masa keanggotaan berikutnya. (8) Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 tugas Panitia Ad Hoc mencakup bidang-bidang Pemerintahan; Politik; Hukum dan HAM; Ekonomi; Kesejahteraan Sosial; serta Keuangan dan Fiskal, mempunyai ruang lingkup sebagai berikut :
  8. Panitia Ad Hoc I 1). otonomi daerah; 2). hubungan pusat dan daerah; 3). pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah.
  9. Panitia Ad Hoc II 1). pengelolaan sumber daya alam; 2). pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya;
  10. Panitia Ad Hoc III 1). pendidikan; 2). agama.
  11. Panitia Ad Hoc IV 1). rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara; 2). perimbangan keuangan pusat dan daerah; 3). memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan Pemilihan Anggota BPK; 4). pajak.

(9) Ruang lingkup tugas Panitia Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (8) perlu memperhatikan urusan-urusan masyarakat dan daerah sebagai berikut :

  1. Panitia Ad Hoc I :
  1. Otonomi Daerah;
  2. Hubungan Pusat dan Daerah serta Antardaerah;
  3. Pembentukan, Pemekaran dan Penggabungan Daerah;
  4. Pemukiman dan Kependudukan;
  5. Pertanahan dan Tata Ruang; dan
  6. Politik, Hukum dan HAM.
  1. Panitia Ad Hoc II :
  1. Pertanian dan Perkebunan;
  2. Perhubungan;
  3. Kelautan dan Perikanan;
  4. Energi dan Sumber Daya Mineral;
  5. Kehutanan dan Lingkungan Hidup;
  6. Pariwisata;
  7. Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah;
  8. Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dan Daerah Tertinggal;
  9. Perindustrian dan Perdagangan;
  10. Penanaman Modal;
  11. Pekerjaan Umum; dan
  12. Ketenagakerjaan.
  1. Panitia Ad Hoc III :
  1. Pendidikan;
  2. Agama;
  3. Kesehatan;
  4. Kesejahteraan Sosial;
  5. Kebudayaan;
  6. Pemberdayaan Perempuan; dan
  7. Pemuda dan Olahraga.
  1. Panitia Ad Hoc IV :
  1. APBN;
  2. Pajak;
  3. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah;
  4. BPK; dan
  5. Lembaga Keuangan. (10) Dalam rangka mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah teknis dan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Panitia Ad Hoc melakukan rapat gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf b.

BAB VII BADAN KEHORMATAN

Bagian Pertama Kedudukan dan Susunan

Pasal 34 (1) Badan kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD. (2) Badan Kehormatan dapat membentuk Tim Kerja untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya.

Pasal 35 (1) Keanggotaan Badan Kehormatan terdiri atas sebanyak-banyaknya 32 (tiga puluh dua) orang Anggota yang mencerminkan keterwakilan setiap provinsi. (2) Keanggotaan Badan Kehormatan ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPD pada permulaan masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan Tahun Sidang, kecuali pada permulaan Tahun Sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD. (3) Penggantian Anggota Badan Kehormatan dilakukan berdasarkan permusyawaratan Anggota dari provinsi yang bersangkutan dan diusulkan kepada Pimpinan DPD. (4) Badan Kehormatan dibantu oleh sebuah sekretariat.

Pasal 36 (1) Pimpinan Badan Kehormatan merupakan 1 (satu) kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. (2) Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Badan Kehormatan dalam Rapat Badan Kehormatan yang dipimpin oleh Pimpinan DPD. (3) Pembagian tugas ketua dan wakil ketua diatur sendiri berdasarkan tugas Badan Kehormatan. (4) Dalam hal Pimpinan Badan Kehormatan berhalangan tetap, penggantian Pimpinan Badan Kehormatan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Masa jabatan Pimpinan Badan Kehormatan selama 1 (satu) tahun sidang dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Bagian Kedua Tugas dan Wewenang

Pasal 37 (1) Tugas Badan Kehormatan adalah:

  1. melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota karena:
  1. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota;
  2. tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai Anggota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum;
  3. dinyatakan melanggar sumpah/janji, Kode Etik DPD, dan/atau tidak melak¬sanakan kewajiban sebagai Anggota;
  4. melanggar peraturan ketentuan larangan rangkap jabatan seba¬gaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. mengambil keputusan atas hasil penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
  2. menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b kepada Sidang Paripurna DPD untuk ditetapkan. (2) Rapat-rapat Badan Kehormatan bersifat tertutup.

(3) Rapat Badan Kehormatan untuk mengambil keputusan harus memenuhi kuorum dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 159. (4) Badan Kehormatan mempunyai wewenang untuk:

  1. memanggil Anggota yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan; dan
  2. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain.

Bagian Ketiga Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang

Pasal 38 (1) Pengaduan tentang dugaan adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a diajukan secara tertulis oleh Pimpinan DPD, masyarakat dan/atau pemilih dilengkapi dengan identitas pengadu kepada Badan Kehormatan. (2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dijamin kerahasiaannya. (3) Badan Kehormatan menyampaikan tembusan/foto copy surat pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Anggota yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan surat resmi. (4) Badan Kehormatan menyampaikan panggilan kepada Anggota yang diadukan setelah 14 (empat belas) hari sejak surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan. (5) Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum sidang Badan Kehormatan yang telah ditentukan untuk itu. (6) Dalam hal Anggota yang diadukan tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai 3 (tiga) kali, Badan Kehormatan dapat segera membahas dan menetapkan keputusan tanpa kehadiran Anggota yang bersangkutan. (7) Anggota yang diadukan harus datang sendiri dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain. (8) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan verifikasi :

  1. Pengadu dalam rapat Badan Kehormatan dapat menyertakan saksi-saksi dengan sejauh mungkin tetap dijaga kerahasiaannya;
  2. Anggota yang diadukan dalam rapat Badan Kehormatan dapat menghadirkan saksi-saksi; dan
  3. Badan Kehormatan dapat menghadirkan saksi ahli. (9) Di hadapan rapat Badan Kehormatan pengadu atau Anggota yang diadukan diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduan atau pembelaan, sedangkan saksi-saksi dan/atau pihak-pihak lain yang terkait dimintai keterangan termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lainnya. (10) Badan Kehormatan mengambil keputusan setelah melakukan penyelidikan dan/atau verifikasi terhadap pengaduan tersebut, pembelaan, bukti-bukti serta saksi-saksi. (11) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasarnya, dan menunjuk pasal-pasal peraturan yang dilanggar.

Bagian Keempat Sanksi

Pasal 39 (1) Setelah Badan Kehormatan melakukan penelitian dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, bukti-bukti serta saksi-saksi, Badan Kehormatan dapat memutuskan sanksi berupa:

  1. teguran tertulis;

  2. pemberhentian dari jabatan Pimpinan DPD atau Pimpinan alat kelengkapan DPD; atau

  3. pemberhentian sebagai Anggota. (2) Sanksi yang diberikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Sidang Paripurna untuk ditetapkan. (3) Keputusan DPD berkenaan dengan penetapan sanksi disampaikan oleh Pimpinan DPD kepada Anggota yang bersangkutan. (4) Anggota yang dikenai sanksi sebagaimana tercantum pada ayat (1) huruf c dapat melakukan upaya hukum. (5) Pemberhentian sebagai Anggota sebagaimana tercantum pada ayat (1) huruf c dilakukan setelah ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. (6) Pemberhentian sebagai Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, oleh Pimpinan DPD disampaikan kepada Presiden untuk diresmikan. (7) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (5), disampaikan oleh Pimpinan DPD kepada Anggota yang bersangkutan.

Pasal 40 (1) Badan Kehormatan menetapkan keputusan rehabilitasi, apabila Anggota yang diadukan terbukti tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan kode etik. (2) Rehabilitasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Sidang Paripurna untuk ditetapkan. (3) Keputusan DPD berkenaan dengan penetapan rehabilitasi disampaikan oleh Pimpinan DPD kepada Anggota yang bersangkutan dan dibagikan kepada seluruh Anggota.

BAB VIII PANITIA MUSYAWARAH

Bagian Pertama Kedudukan dan Susunan

Pasal 41 (1) Panitia Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD. (2) Panitia Musyawarah dapat membentuk Tim Kerja untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya.

Pasal 42 (1) Keanggotaan Panitia Musyawarah berjumlah 32 (tiga puluh dua) orang Anggota yang mencerminkan keterwakilan setiap provinsi. (2) Keanggotaan Panitia Musyawarah ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPD pada permulaan masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan Tahun Sidang kecuali pada permulaan Tahun Sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD. (3) Penggantian anggota Panitia Musyawarah dilakukan berdasar¬kan permusyawaratan anggota dari provinsi yang bersangkutan dan diusulkan kepada Pimpinan DPD. (4) Panitia Musyawarah dibantu oleh sebuah sekretariat.

Pasal 43 (1) Pimpinan Panitia Musyawarah merupakan 1 (satu) kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. (2) Pimpinan Panitia Musyawarah terdiri atas seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Panitia Musyawarah dalam Rapat Panitia Musyawarah yang dipimpin oleh Pimpinan DPD. (3) Pembagian tugas ketua dan wakil ketua diatur sendiri berdasarkan tugas Panitia Musyawarah.

(4) Dalam hal Pimpinan Panitia Musyawarah berhalangan tetap, penggantian Pimpinan Panitia Musyawarah dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Masa jabatan Pimpinan Panitia Musyawarah selama 1 (satu) tahun sidang dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Bagian Kedua Tugas dan Wewenang

Pasal 44 Tugas Panitia Musyawarah adalah:

  1. merancang dan menetapkan acara serta kegiatan DPD untuk 1 (satu) Tahun Sidang, 1 (satu) Masa Persidangan, atau sebagian dari suatu Masa Sidang dan perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, serta jangka waktu penyelesaian Rancangan Undang-Undang, dengan tidak mengurangi hak Sidang Paripurna untuk mengubahnya;
  2. memberikan pendapat kepada Pimpinan DPD dalam menentukan garis kebijaksanaan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPD;
  3. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPD yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut pelaksanaan tugas tiap-tiap alat kelengkapan tersebut;
  4. menentukan penanganan terhadap pelaksanaan tugas DPD oleh alat kelengkapan DPD;
  5. melaksanakan hal-hal yang oleh Sidang Paripurna diserahkan kepada Panitia Musyawarah.

Pasal 45 Apabila dalam masa Anggota melakukan kegiatan ke daerah ada masalah yang menyangkut tugas dan wewenang DPD yang dianggap mendasar dan perlu segera diambil keputusan, Pimpinan DPD secepatnya memanggil Anggota Panitia Musyawarah untuk menetapkan acara rapat/sidang.

BAB IX PANITIA PERANCANG UNDANG-UNDANG

Bagian Pertama Kedudukan dan Susunan

Pasal 46 (1) Panitia Perancang Undang-Un¬dang dibentuk oleh DPD dan me¬¬rupakan alat kelengkapan DPD. (2) Panitia Perancang Undang-Undang dapat membentuk Tim Kerja untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya.

Pasal 47 (1) Keanggotaan Panitia Perancang Undang-Undang sebanyak-banyaknya berjumlah 32 (tiga puluh dua) orang Anggota yang mencerminkan keterwakilan setiap provinsi. (2) Keanggotaan Panitia Perancang Undang-Undang ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPD pada permulaan masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD. (3) Penggantian Anggota Panitia Pe¬ran¬cang Undang-Undang dilaku¬kan berdasarkan permusyawaratan Anggota dari provinsi yang bersangkutan dan diusulkan kepada Pimpinan DPD. (4) Panitia Perancang Undang-Undang dibantu oleh sebuah sekretariat.

Pasal 48 (1) Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang merupakan 1 (satu) kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. (2) Pimpinan Panitia Perancang Un¬dang-Undang terdiri atas se¬orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Panitia Perancang Undang-Undang dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang yang dipimpin oleh Pimpinan DPD. (3) Pembagian tugas Anggota Pim¬pinan Panitia Perancang Undang-Undang diatur sendiri berdasarkan tugas Panitia Perancang Undang-Undang. (4) Dalam hal Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang berha¬langan tetap, penggantian Pim¬pinan Panitia Perancang Undang-Undang dilakukan dengan memperhatikan ketentuan seba¬gaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Masa jabatan Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang selama 1 (satu) tahun sidang dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Bagian kedua Tugas dan Wewenang

Pasal 49 (1) Tugas Panitia Perancang Undang-Undang adalah:

  1. merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan usul pembentukan rancangan undang-undang dan usul rancangan undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggotaan DPD dan setiap Tahun Anggaran dengan tahapan:
  1. menginventarisir masukan dari Anggota, Panitia Ad Hoc, masyarakat, dan daerah untuk ditetapkan menjadi keputusan Panitia Peran¬cang Undang-Undang;
  2. keputusan sebagaimana dimaksud pada angka 1 disampaikan kepada DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan Pemerintah melalui menteri yang tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan sebagai bahan dalam penyusunan program legislasi nasional;
  1. membahas Usul Pembentukan Rancangan Undang-Undang dan Usul Rancangan Undang-Undang berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
  2. mengkoordinasikan kegiatan pembahasan, harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Usul Pembentukan Rancangan Undang-Undang dan Usul Rancangan Undang-Undang yang disiapkan oleh Anggota dan/atau Panitia Ad Hoc;
  3. melakukan pembahasan, perubahan/penyempurnaan Rancangan Undang-Undang yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah dan/atau Sidang Paripurna;
  4. melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka mengikuti perkembangan terhadap materi Usul Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas oleh Panitia Ad Hoc;
  5. melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul ran¬cangan undang-undang;
  6. membuat inventarisasi masa¬lah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan un¬tuk dapat dipergunakan se¬ba¬gai bahan oleh Panitia Pe¬ran¬cang Undang-Undang pa¬da masa keanggotaan berikut¬nya;
  7. melakukan evaluasi dan penyempurnaan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik Anggota. (2) Panitia Perancang Undang-Undang dalam melak¬sa¬na¬kan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
  8. mengadakan rapat konsultasi dengan alat kelengkapan DPR;
  9. mengadakan Rapat Kerja dengan:
  1. DPR;
  2. pemerintah;
  3. pemerintah daerah; dan
  4. DPRD.
  1. mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum, baik atas prakarsa Panitia Perancang Undang-Undang maupun atas permintaan pihak lain;
  2. mengadakan kunjungan kerja pada Masa Sidang yang hasilnya dilaporkan dal¬am rapat Panitia Perancang Undang-Undang yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua alat kelengkapan DPD;
  3. mengadakan studi banding atas persetujuan Pimpinan DPD yang hasilnya dilapor¬kan dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua alat kelengkapan DPD;
  4. mengusulkan kepada Pimpinan DPD mengenai hal yang dipan¬dang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPD.

BAB X PANITIA URUSAN RUMAH TANGGA

Bagian Pertama Kedudukan dan Susunan

Pasal 50 (1) Panitia Urusan Rumah Tangga dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD. (2) Panitia Urusan Rumah Tangga dapat membentuk Tim Kerja untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya.

Pasal 51 (1) Keanggotaan Panitia Urusan Rumah Tangga sebanyak-banyaknya berjumlah 32 (tiga puluh dua) orang Anggota yang mencerminkan keterwakilan setiap provinsi. (2) Keanggotaan Panitia Urusan Rumah Tangga ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPD pada permulaan masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan Tahun Sidang, kecuali pada permulaan Tahun Sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD. (3) Penggantian Anggota Panitia Urusan Rumah Tangga dilakukan berdasarkan permusyawaratan Anggota dari provinsi yang bersangkutan dan diusulkan kepada Pimpinan DPD. (4) Panitia Urusan Rumah Tangga dibantu oleh sebuah sekretariat.

Pasal 52 (1) Pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga merupakan 1 (satu) kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. (2) Pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga terdiri atas se¬orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Panitia Urusan Rumah Tangga dalam Rapat Panitia Urusan Rumah Tangga yang dipimpin oleh Pimpinan DPD. (3) Pembagian tugas Anggota Pim¬pinan Panitia Urusan Rumah Tangga diatur sendiri berdasarkan tugas Panitia Urusan Rumah Tangga. (4) Dalam hal Pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga berha¬langan tetap, penggantian Pim¬pinan Urusan Rumah Tangga dilakukan dengan memperhatikan ketentuan seba¬gaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Masa jabatan Pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga selama 1 (satu) tahun sidang dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Bagian Kedua Tugas dan Wewenang

Pasal 53 (1) Tugas Panitia Urusan Rumah Tangga adalah:

  1. membantu Pimpinan DPD dalam menentukan kebijaksanaan kerumahtanggaan DPD, termasuk kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal;
  2. membantu Pimpinan DPD dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal;
  3. membantu Pimpinan DPD dalam merencanakan dan menyusun kebijaksanaan anggaran DPD dengan:
  1. meneliti dan menyempurnakan Rancangan Anggaran DPD yang penyusunannya disiapkan oleh Sekretariat Jenderal dengan memperhatikan masukan dan usulan dari masing-masing alat kelengkapan dan usulan kegiatan provinsi;
  2. menetapkan pagu anggaran DPD setelah melalui rapat gabungan alat kelengkapan DPD untuk selanjutnya dikonsultasikan dengan Panitia Anggaran DPR dan Menteri Keuangan;
  3. mengawasi pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPD;
  1. melaksanakan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan DPD yang ditugaskan oleh Pimpinan DPD berdasarkan hasil Rapat Panitia Musyawarah. (2) Panitia Urusan Rumah Tangga dapat meminta penjelasan dan data yang diperlukan kepada Sekretariat Jenderal. (3) Panitia Urusan Rumah Tangga membuat inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Urusan Rumah Tangga pada masa keanggotaan berikutnya.

BAB XI PANITIA KERJA SAMA ANTAR-LEMBAGA PERWAKILAN

Bagian Pertama Kedudukan dan Susunan

Pasal 54 (1) Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD. (2) Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan dapat membentuk Tim Kerja untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya.

Pasal 55 (1) Keanggotaan Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan sebanyak-banyaknya berjumlah 32 (tiga puluh dua) orang Anggota yang mencerminkan keterwakilan setiap provinsi. (2) Keanggotaan Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPD pada permulaan masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan Tahun Sidang, kecuali pada permulaan Tahun Sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD. (3) Penggantian Anggota Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan dilakukan berdasarkan permusyawaratan Anggota dari provinsi yang bersangkutan dan diusulkan kepada Pimpinan DPD. (4) Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan dibantu oleh sebuah sekretariat.

Pasal 56 (1) Pimpinan Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan merupakan 1 (satu) kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. (2) Pimpinan Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan terdiri atas seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan dalam Rapat Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan yang dipimpin oleh Pimpinan DPD. (3) Pembagian tugas Anggota Pimpinan Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan diatur sendiri berdasarkan tugas Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan. (4) Dalam hal Pimpinan Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan berhalangan te¬tap, penggantian Pimpinan Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan di¬la¬kukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Pimpinan Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan memegang jabatannya selama 1 (satu) tahun Sidang dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Bagian Kedua Tugas dan Wewenang

Pasal 57 (1) Tugas Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan adalah:

  1. membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPD dengan lembaga negara sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral atas penugasan atau persetujuan Pimpinan DPD;
  2. mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kunjungan delegasi lembaga negara sejenis yang menjadi tamu DPD;
  3. mengadakan evaluasi dan menindaklanjuti hasil pelaksanaan tugas Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan;
  4. memberikan saran atau usul kepada Pimpinan DPD tentang kerja sama antara DPD dengan lembaga negara sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral. (2) Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan dalam melaksanakan tugas, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat:
  5. mengadakan konsultasi dengan pihak yang dipandang perlu mengenai hal yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya dengan tidak mengurangi hak dan kewajiban Panitia Ad Hoc, Panitia Perancang Undang-Undang, dan/atau Panitia Khusus;
  6. mengadakan hubungan dengan organisasi internasional di luar lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, atas persetujuan Pimpinan DPD berdasarkan pertimbangan Panitia Musyawarah;
  7. menghimpun data dan informasi serta melakukan kajian hubungan kerja sama antara DPD dengan lembaga negara sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral. (3) Hasil kunjungan delegasi DPD dilaporkan dalam Sidang Paripurna dan disampaikan juga kepada alat kelengkapan DPD. (4) Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan membuat inventarisasi masalah pa¬da akhir masa keanggotaan DPD, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Perwakilan pada masa keanggotaan berikutnya.

Bab XII PANITIA KHUSUS

Bagian Pertama Kedudukan dan Susunan

Pasal 58 (1) DPD, apabila memandang perlu dapat membentuk Panitia Khusus yang bersifat sementara. (2) Panitia Khusus dapat membentuk Tim Kerja untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya.

Pasal 59 (1) Prakarsa pembentukan Panitia Khusus dapat diusulkan oleh Panitia Ad Hoc, Panitia Musyawarah, dan/atau Anggota. (2) Komposisi keanggotaan Panitia Khusus ditetapkan oleh Sidang Paripurna. (3) Keanggotaan Panitia Khusus sekurang-kurangnya 16 (enam belas) orang Anggota dan sebanyak-banyaknya 32 (tiga puluh dua) orang Anggota. (4) Penggantian Anggota Panitia Khusus dapat dilakukan oleh Panitia Ad Hoc dan/atau Panitia Musyawarah apabila Anggota Panitia Khusus yang bersangkutan berhalangan tetap. (5) Panitia Khusus dibantu oleh sebuah sekretariat.

Pasal 60 (1) Pimpinan Panitia Khusus merupakan 1 (satu) kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. (2) Pimpinan Panitia Khusus terdiri atas se¬orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Panitia Khusus dalam Rapat Panitia Khusus yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Musyawarah. (3) Pembagian tugas Anggota Pimpinan Panitia Khusus diatur sendiri berdasarkan tugas Pimpinan Panitia Khusus. (4) Dalam hal Pimpinan Panitia Khusus berha¬langan tetap, penggantian Pimpinan Panitia Khusus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan seba¬gaimana dimaksud pada ayat (2).

Bagian Kedua Tugas dan Wewenang

Pasal 61 (1) Panitia Khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh Sidang Paripurna. (2) Panitia Khusus bertanggung jawab kepada DPD. (3) Panitia Khusus dalam melak¬sa¬na¬kan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:

  1. mengadakan Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum, baik atas prakarsa Panitia Khusus maupun atas permintaan pihak lain;
  2. mengadakan kunjungan kerja pada Masa Sidang yang hasilnya dilaporkan dalam rapat Panitia Khusus yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua alat kelengkapan DPD;
  3. mengadakan studi banding atas persetujuan Pimpinan DPD yang hasilnya dilapor¬kan dalam rapat Panitia Khusus yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua alat kelengkapan DPD;
  4. melakukan rapat kerja dengan alat kelengkapan DPR, dalam hal Panitia Khusus dibentuk untuk pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang dari DPD. (4) Panitia Musyawarah menentukan jangka waktu penugasan Panitia Khusus. (5) Panitia Khusus melaporkan hasil kerjanya dalam Sidang Paripurna untuk ditindaklanjuti. BAB XIII KEDUDUKAN DPD DI MPR

Bagian Pertama Kelompok DPD di MPR

Pasal 62 (1) Kelompok DPD di MPR adalah bagian integral dari DPD yang merupakan pengelompokan Anggota sebagai Anggota MPR. (2) Kelompok DPD di MPR, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bersifat mandiri dan dibentuk dalam rangka optimalisasi dan efektifitas pelaksanaan tugas, wewenang, dan fungsi sebagai Anggota MPR. (3) Kelompok DPD di MPR merupakan 1 (satu) kesatuan yang bersifat kolektif berjumlah 32 (tiga puluh dua) orang Anggota yang mencerminkan keterwakilan provinsi. (4) Pimpinan Kelompok DPD di MPR terdiri atas unsur seorang ketua; 5 (lima) orang wakil ketua; seorang sekretaris dan 2 (dua) orang wakil sekretaris yang dipilih dalam Rapat Pleno Kelompok DPD di MPR. (5) Keanggotaan Pimpinan Kelompok DPD di MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan pada permulaan masa keanggotaan DPD dan setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir. (6) Pimpinan Kelompok DPD di MPR memegang jabatannya selama 1 (satu) tahun sidang dan sesudahnya dapat dipilih kembali. (7) Dalam hal Pimpinan Kelompok DPD di MPR berhalangan tetap, pergantian Pimpinan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). (8) Kelompok DPD dibantu dengan sebuah sekretariat.

Pasal 63 (1) Kelompok DPD di MPR bertugas mengkoordinasikan kegiatan Anggota DPD di MPR. (2) Kelompok DPD di MPR bertugas meningkatkan kemampuan kinerja DPD dalam lingkup sebagai Anggota MPR. (3) Pelaksanaan tugas Kelompok DPD di MPR dilaporkan dalam Sidang Paripurna DPD. (4) Panduan kerja Kelompok DPD di MPR dituangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Kelompok DPD di MPR (5) Pembuatan dan perubahan AD/ART Kelompok DPD di MPR diusulkan dari Kelompok DPD di MPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPD.

Pasal 64 DPD menyediakan sarana dan prasarana guna kelancaran pelaksanaan tugas Kelompok DPD di MPR.

Bagian Kedua Tata Cara Pemilihan Pimpinan MPR Unsur Anggota DPD

Pasal 65 (1) Setiap Anggota berhak untuk memilih dan dipilih sebagai Calon Pimpinan MPR yang berasal dari unsur Anggota DPD. (2) Calon Pimpinan MPR yang berasal dari unsur Anggota DPD sebanyak 6 (enam) orang dipilih dari dan oleh Anggota dalam Sidang Paripurna. (3) Ketua dan Wakil Ketua DPD tidak dapat mengikuti pencalonan Pimpinan MPR. (4) Pengajuan calon Pimpinan MPR unsur Anggota DPD dilakukan secara bebas dan rahasia.

(5) Setiap Anggota mengajukan 2 (dua) nama yang berbeda sebagai calon Pimpinan MPR unsur Anggota DPD. (6) Anggota yang mendapat suara terbanyak urutan pertama sampai dengan urutan 12 (dua belas) ditetapkan sebagai bakal calon Pimpinan MPR unsur Anggota DPD.

Pasal 66 (1) Anggota memilih 1 (satu) calon Pimpinan MPR unsur Anggota DPD dari 12 (dua belas) bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (6) secara rahasia. (2) Bakal calon Pimpinan MPR yang memperoleh suara terbanyak pertama sampai dengan keenam ditetapkan sebagai calon Pimpinan MPR.

Pasal 67 (1) Dalam hal terdapat calon Pimpinan MPR unsur Anggota DPD yang memperoleh suara sama banyak lebih dari 1 (satu) orang, untuk menentukan urutan keduabelas dan ketigabelas sebagaimana dimaksud pada Pasal 65 ayat (6) dan untuk menentukan urutan keenam dan ketujuh sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat (2) dilakukan pemilihan ulang terhadap calon-calon yang memperoleh suara sama banyak tersebut. (2) Dalam hal hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat lebih dari 1 (satu) calon yang memperoleh suara terbanyak sama jumlahnya, maka pengambilan keputusan diserahkan kepada Pimpinan DPD dan calon yang bersangkutan.

Pasal 68 (1) Calon Pimpinan MPR unsur Anggota DPD terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) merupakan calon yang akan diajukan DPD kepada fraksi-fraksi MPR untuk dipilih menjadi paket calon Pimpinan MPR. (2) Pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi hak Anggota DPD lainnya untuk dipilih menjadi paket calon Pimpinan MPR.

BAB XIV SIDANG DAN RAPAT DPD

Bagian Pertama Waktu Sidang dan Rapat

Pasal 69 (1) Tahun Sidang DPD dimulai pada tanggal 15 Agustus dan diakhiri pada tang¬gal 14 Agustus tahun berikutnya dan apabila tanggal 15 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan Tahun Sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya. (2) Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun Sidang DPD dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota. (3) Kegiatan DPD meliputi Sidang DPD di ibukota negara serta kegiatan di daerah-daerah dan tempat lain sesuai dengan penugasan DPD. (4) Sidang DPD di ibukota negara diselenggarakan dalam masa sidang DPR.

Pasal 70 (1) Jadwal dan acara persidangan ditetapkan oleh Panitia Musyawarah. (2) Apabila Panitia Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat untuk menetapkan jadwal dan acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pimpinan DPD dapat menetapkan acara tersebut.

Pasal 71 (1) Pada awal Tahun Si¬dang dan awal Sidang, Pimpinan DPD menyam¬pai¬kan pidato pembukaan yang me¬nguraikan rencana kegiatan DPD dan masalah yang di¬pan¬dang perlu, yang disampaikan dalam Sidang Paripurna. (2) Pada akhir Sidang, Pimpinan DPD menyampaikan pidato penutupan yang mengu¬rai¬kan hasil kegiatan selama Sidang yang ber¬sangkutan dan masa¬lah yang dipandang perlu, yang disampaikan dalam Sidang Pari¬purna. (3) Pada akhir Tahun Sidang, Pimpinan DPD menyampaikan pidato penutupan yang menguraikan hasil kegiatan DPD selama Tahun Sidang yang bersangkutan dan masa¬lah yang dipandang perlu, yang disampaikan dalam Sidang Paripurna. (4) Pada Sidang akhir masa jabatan keanggotaan DPD, Pimpinan DPD menyampaikan pidato penutupan yang menguraikan hasil kegiatan DPD selama masa jabatan keanggotaan DPD yang bersangkutan dan masa¬lah yang dipandang perlu, yang disampaikan dalam Sidang Paripurna.

Pasal 72 (1) Waktu rapat/sidang DPD adalah:

  1. pada siang hari, hari Senin sampai dengan hari Kamis, dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 16.00 dengan istirahat pukul 12.00 sampai dengan pukul 13.00; hari Jumat dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 16.00 dengan istirahat dari pukul 11.00 sampai dengan pukul 13.30;
  2. pada malam hari dari pukul 19.30 sampai dengan pukul 23.30 pada setiap hari kerja. (2) Penyimpangan dari waktu rapat/sidang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan oleh rapat/sidang yang bersangkutan. (3) Semua jenis rapat/sidang DPD dilakukan di Gedung DPD. (4) Penyimpangan dari tempat rapat/sidang, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat dilakukan atas persetujuan alat kelengkapan yang bersangkutan.

Bagian Kedua Jenis Rapat/Sidang

Pasal 73 Jenis Sidang/Rapat DPD adalah:

  1. Sidang Paripurna;

  2. Sidang Paripurna Luar Biasa;

  3. Sidang Paripurna Khusus;

  4. Rapat Pimpinan DPD;

  5. Rapat Panitia Ad Hoc;

  6. Rapat Badan Kehormatan;

  7. Rapat Panitia Musyawarah;

  8. Rapat Panitia Perancang Undang-Undang;

  9. Rapat Panitia Urusan Rumah Tangga;

  10. Rapat Panitia Kerjasama Antar-Lembaga Perwakilan;

  11. Rapat Panitia Khusus;

  12. Rapat Kelompok DPD di MPR;

  13. Rapat Gabungan;

  14. Rapat Koordinasi;

  15. Rapat Konsultasi;

  16. Rapat Kerja;

  17. Rapat Dengar Pendapat; dan

  18. Rapat Dengar Pendapat Umum.

Pasal 74 Sidang Paripurna adalah sidang Anggota yang dipimpin oleh Pimpinan DPD dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPD.

Pasal 75 (1) Sidang Paripurna Luar Biasa adalah Sidang Paripurna yang diadakan dalam masa Anggota melakukan kegiatan di daerah, dengan ketentuan :

  1. diusulkan oleh Pimpinan DPD dan dijadwalkan oleh Panitia Musyawarah; atau
  2. diusulkan oleh sekurang-kurangnya 12 (dua belas) Anggota yang mencerminkan keterwakilan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan dijadwalkan oleh Panitia Musyawarah. (2) Pimpinan DPD mengundang Anggota untuk menghadiri Sidang Paripurna Luar Biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 76 (1) Sidang Paripurna Khusus adalah Sidang Paripurna DPD dalam rangka meningkatkan pembangunan nasional di daerah. (2) Sidang Paripurna Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus dan apabila tanggal 23 Agustus jatuh pada hari libur, Sidang Paripurna Khusus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. (3) Acara pokok Sidang Paripurna Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pidato Kenegaraan Presiden tentang pembangunan di daerah. (4) Apabila Presiden berhalangan hadir dalam Sidang Paripurna Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pidato Kenegaraan disampaikan oleh Wakil Presiden.

Pasal 77 Rapat Pimpinan DPD adalah rapat Pimpinan DPD yang dipimpin oleh Ketua DPD.

Pasal 78 Rapat Panitia Ad Hoc adalah rapat Anggota Panitia Ad Hoc yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Ad Hoc.

Pasal 79 Rapat Badan Kehormatan adalah rapat Anggota Badan Kehormatan yang dipimpin oleh Pimpinan Badan Kehormatan.

Pasal 80 Rapat Panitia Musyawarah adalah rapat Anggota Panitia Musyawarah yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Musyawarah.

Pasal 81 Rapat Panitia Perancang Undang-Undang adalah rapat Anggota Panitia Perancang Undang-Undang yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang.

Pasal 82 Rapat Panitia Urusan Rumah Tangga adalah rapat Anggota Panitia Urusan Rumah Tangga yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga.

Pasal 83 Rapat Panitia Kerjasama Antar-Lembaga Perwakilan adalah rapat Anggota Panitia Kerjasama Antar-Lembaga Perwakilan yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Kerjasama Antar-Lembaga Perwakilan.

Pasal 84 Rapat Panitia Khusus adalah rapat Anggota Panitia Khusus yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Khusus.

Pasal 85 Rapat Kelompok DPD di MPR adalah rapat Anggota Kelompok DPD di MPR yang dipimpin oleh Pimpinan Kelompok DPD di MPR.

Pasal 86 Rapat Gabungan adalah :

  1. rapat bersama yang diada¬kan oleh lebih dari 1 (satu) alat kelengkapan, dihadiri oleh anggota-anggota alat kelengkapan yang bersangkutan dan dipimpin oleh Pimpinan alat kelengkapan pemrakarsa.
  2. rapat bersama yang diadakan lebih dari satu Panitia Ad Hoc yang bersangkutan dan dipimpin oleh Pimpinan Panitia Ad Hoc pemrakarsa.

Pasal 87 Rapat Koordinasi adalah rapat antara Pimpinan DPD dengan Pimpinan Alat Kelengkapan DPD dan Pimpinan Kelompok DPD di MPR yang dipimpin oleh Pimpinan DPD.

Pasal 88 Rapat Konsultasi adalah rapat antara Panitia Ad Hoc dan/atau Panitia Perancang Undang-Undang dengan alat kelengkapan DPR atas undangan Pimpinan DPD maupun atas permintaan alat kelengkapan DPR; dipimpin oleh Pimpinan Panitia Ad Hoc, atau Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau Pimpinan alat kelengkapan DPR.

Pasal 89 (1) Rapat Kerja adalah rapat antara :

  1. Panitia Ad Hoc, Gabungan Panitia Ad Hoc dan/atau Panitia Perancang Undang-Undang dengan Pemerintah dalam hal ini menteri/Pimpinan Lembaga setingkat menteri dan/atau Direktur Jenderal Departemen.
  2. Panitia Ad Hoc, Gabungan Panitia Ad Hoc dan/atau Panitia Perancang Undang-Undang dengan Pemerintah Daerah dan/atau DPRD.
  3. Panitia Ad Hoc, Gabungan Panitia Ad Hoc, Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau Panitia Khusus dengan alat kelengkapan DPR dalam rangka penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang. (2) Rapat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan atas undangan Pimpinan DPD; dipimpin oleh Pimpinan Panitia Ad Hoc, Pimpinan Gabungan Panitia Ad Hoc, Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang, dan Pimpinan Panitia Khusus, serta dapat dihadiri unsur Pimpinan DPD.

Pasal 90 Rapat Dengar Pendapat adalah rapat antara Panitia Ad Hoc, Gabungan Panitia Ad Hoc, Panitia Perancang Undang-Undang, dan/atau Panitia Khusus dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya baik atas undangan Pimpinan DPD maupun atas permintaan pejabat pemerintah yang bersangkutan; dipimpin oleh Pimpinan Panitia Ad Hoc, Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau Pimpinan Panitia Khusus.

Pasal 91 Rapat Dengar Pendapat Umum adalah rapat antara Panitia Ad Hoc, Gabungan Panitia Ad Hoc, Panitia Perancang Undang-Undang, dan/atau Panitia Khusus dengan perseorangan, kelompok, organisasi atau badan swasta, baik atas undangan Pimpinan Panitia Ad Hoc, Pimpinan Gabungan Panitia Ad Hoc, Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang, atau Pimpinan Panitia Khusus maupun atas permintaan yang bersangkutan; dipimpin oleh Pimpinan Panitia Ad Hoc, Pimpinan Gabungan Panitia Ad Hoc, Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang, dan/atau Pimpinan Panitia Khusus.

Bagian Ketiga Sifat Rapat/Sidang

Pasal 92 (1) Sidang Paripurna, Sidang Paripurna Luar Biasa, Sidang Paripurna Khusus, Rapat Panitia Ad Hoc, Rapat Gabungan Panitia Ad Hoc, Rapat Panitia Perancang Undang-Undang, Rapat Panitia Khusus, Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan Rapat Dengar Pendapat Umum pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tersebut memutuskan bersifat tertutup. (2) Rapat Pimpinan DPD, Rapat Badan Kehormatan, Rapat Panitia Musyawarah, Rapat Panitia Urusan Rumah Tangga, Rapat Konsultasi, Rapat Gabungan, dan Rapat Koordinasi bersifat tertutup. (3) Rapat/sidang terbuka ialah rapat/sidang yang selain dihadiri oleh Anggota, juga dapat dihadiri oleh bukan Anggota, baik yang diundang maupun yang tidak diundang. (4) Rapat/sidang tertutup ialah rapat/sidang yang hanya boleh dihadiri oleh Anggota dan mereka yang diundang.

Pasal 93 (1) Rapat/sidang terbuka yang sedang berlangsung dapat diusulkan untuk dinyatakan tertutup, baik oleh Ketua Rapat/sidang maupun oleh peserta rapat/sidang. (2) Apabila dipandang perlu, rapat/sidang dapat ditunda untuk sementara guna memberi waktu kepada pimpinan dan peserta rapat/sidang untuk membi¬carakan usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Rapat/sidang yang bersangkutan memutuskan apakah usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui atau ditolak. (4) Apabila rapat/sidang menyetujui usul tersebut, Ketua Rapat/sidang menyatakan rapat/sidang yang bersangkutan sebagai rapat/sidang tertutup dan mempersilakan selain Anggota dan undangan untuk meninggalkan ruang rapat/sidang.

Pasal 94 (1) Pembicaraan dan keputusan dalam rapat/sidang tertutup bersifat rahasia dan tidak boleh diumumkan apabila dinyatakan secara tegas sebagai rahasia dan tidak dapat diumumkan. (2) Sifat rahasia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus dipegang teguh oleh mereka yang mengetahui pembicaraan dalam rapat/sidang tertutup tersebut. (3) Karena sifatnya dan/atau karena hal tertentu, baik atas usul Ketua Rapat/sidang maupun atas usul salah satu peserta rapat/sidang, rapat/sidang dapat memutuskan untuk mengumumkan seluruh atau sebagian pembicaraan dalam rapat/sidang tertutup itu.

Bagian Keempat Tata Cara Rapat/Sidang

Pasal 95 (1) Setiap Anggota wajib menandatangani daftar hadir sebelum menghadiri rapat/sidang. (2) Untuk para undangan disediakan daftar hadir tersendiri.

Pasal 96 (1) Ketua Rapat/sidang membuka rapat/sidang sesuai dengan jadwal rapat/sidang yang telah dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah Anggota. (2) Apabila pada waktu yang telah ditentukan belum dihadiri oleh separuh dari Anggota rapat/sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Rapat/sidang mengumumkan penundaan pembukaan rapat/sidang. (3) Penundaan rapat/sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) jam. (4) Ketua Rapat/sidang dapat membuka rapat/sidang apabila pada akhir waktu penundaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi. (5) Rapat/sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum sebagaimana diatur dalam Pasal 159.

Pasal 97 (1) Setelah rapat/sidang dibuka, Ketua Rapat/sidang dapat meminta kepada sekretaris rapat/sidang agar memberitahukan surat masuk dan surat keluar kepada peserta rapat/sidang. (2) Rapat/sidang dapat membicarakan surat masuk dan surat keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 98 (1) Ketua Rapat/sidang menutup rapat/sidang setelah semua acara yang ditetapkan selesai dibicarakan. (2) Ketua Rapat/sidang menunda penyelesaian acara tersebut untuk dibicarakan dalam rapat/sidang berikutnya atau meneruskan penyelesaian acara tersebut atas persetujuan rapat/sidang apabila acara yang ditetapkan untuk suatu rapat/sidang belum terselesaikan, sedangkan waktu rapat/sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 telah berakhir. (3) Ketua Rapat/sidang mengemukakan pokok-pokok keputusan dan/atau kesimpulan yang dihasilkan oleh rapat/sidang sebelum menutup rapat/sidang.

Pasal 99 Apabila Ketua Rapat/sidang berhalangan, rapat/sidang dipimpin oleh salah seorang Wakil Ketua Rapat/sidang.

Bagian Kelima Tata Cara Mengubah Acara Rapat/Sidang

Pasal 100 (1) Alat kelengkapan DPD dapat mengajukan usul perubahan kepada Pimpinan DPD mengenai acara yang telah ditetapkan oleh Panitia Musyawarah, baik mengenai perubahan waktu maupun mengenai masalah baru, yang akan diagendakan untuk segera dibicarakan dalam Rapat Panitia Musyawarah. (2) Usul perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis dengan menyebutkan waktu dan masalah yang diusulkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum acara rapat yang bersangkutan dilaksanakan.

(3) Pimpinan DPD mengajukan usul perubahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Panitia Musyawarah untuk segera dibicarakan. (4) Panitia Musyawarah membicarakan dan mengambil keputusan tentang usul perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3). (5) Keputusan Panitia Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengubah acara rapat/sidang dan memberitahukan perubahan acara rapat/sidang tersebut kepada seluruh Anggota selambat-lambatnya dalam 2 (dua) hari. (6) Apabila Panitia Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2).

Pasal 101 (1) Dalam keadaan memaksa, Pimpinan DPD dan Anggota dapat mengajukan usul perubahan tentang acara sidang paripurna yang sedang berlangsung. (2) Rapat/sidang yang bersangkutan segera mengambil keputusan tentang usul perubahan acara tersebut.

Bagian Keenam Tata Cara Permusyawaratan

Pasal 102 (1) Ketua Rapat/sidang menjaga agar rapat/sidang berjalan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Tata Tertib DPD. (2) Ketua Rapat/sidang hanya berbicara selaku pimpinan rapat/sidang untuk menjelaskan masalah yang menjadi pembicaraan, menunjukkan duduk persoalan yang sebenarnya, mengembalikan pembicaraan kepada pokok persoalan, dan menyimpulkan pembicaraan Anggota rapat/sidang. (3) Apabila Ketua Rapat/sidang hendak berbicara selaku Anggota rapat/sidang, untuk sementara pimpinan rapat/sidang diserahkan kepada anggota pimpinan yang lain.

Pasal 103 (1) Sebelum berbicara, Anggota rapat/sidang yang akan berbicara mendaftarkan namanya lebih dahulu. (2) Anggota rapat/sidang yang belum mendaftarkan namanya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak boleh berbicara, kecuali menurut pendapat Ketua Rapat/sidang ada alasan yang dapat diterima.

Pasal 104 (1) Giliran berbicara diatur oleh Ketua Rapat/sidang menurut urutan pendaftaran nama. (2) Peserta rapat/sidang berbicara di tempat yang telah disediakan setelah dipersilakan oleh Ketua Rapat/sidang. (3) Seorang peserta rapat/sidang yang berhalangan pada waktu mendapat giliran berbicara maka giliran berbicara diberikan kepada pembicara selanjutnya. (4) Pembicara dalam rapat/sidang tidak boleh diganggu selama berbicara.

Pasal 105 (1) Ketua Rapat/sidang dapat menentukan lamanya Anggota rapat/sidang berbicara. (2) Ketua Rapat/sidang memperingatkan dan memintanya agar pembicara mengakhiri pembicaraan apabila seorang pembicara melampaui batas waktu yang telah ditentukan.

Pasal 106 (1) Setiap waktu dapat diberikan kesempatan kepada Anggota rapat/sidang melakukan interupsi untuk:

  1. meminta penjelasan tentang duduk persoalan sebenarnya mengenai masalah yang sedang dibicarakan;
  2. menjelaskan soal yang di dalam pembicaraan menyangkut diri dan/atau tugasnya;
  3. mengajukan usul prosedur mengenai soal yang sedang dibicarakan; atau
  4. mengajukan usul agar rapat/sidang ditunda untuk sementara. (2) Ketua Rapat/sidang dapat membatasi lamanya pembicara melakukan interupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memperingatkan dan menghentikan pembicara apabila interupsi tidak ada hubungannya dengan materi yang sedang dibicarakan. (3) Terhadap pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dapat diadakan pembahasan. (4) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d, untuk dapat dibahas harus mendapat persetujuan rapat/sidang.

Pasal 107 (1) Seorang pembicara tidak boleh menyimpang dari pokok pembicaraan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1). (2) Apabila seorang pembicara menurut pendapat Ketua Rapat/sidang menyimpang dari pokok pembicaraan, Ketua Rapat/sidang memperingatkannya dan meminta supaya pembicara kembali kepada pokok pembicaraan.

Pasal 108 (1) Ketua Rapat/sidang memperingatkan pembicara yang menggunakan kata-kata yang tidak layak, melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban rapat/sidang, atau menganjurkan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. (2) Ketua Rapat/sidang meminta agar yang bersangkutan menghentikan perbuatan pembicara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau memberikan kesempatan kepadanya untuk menarik kembali kata-katanya dan menghentikan perbuatannya. (3) Apabila pembicara memenuhi permintaan Ketua Rapat/sidang, kata-kata pembicara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak pernah diucapkan dan tidak dimuat dalam risalah atau catatan rapat/sidang.

Pasal 109 (1) Apabila seorang pembicara tidak memenuhi peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Ketua Rapat/sidang melarang pembicara tersebut meneruskan pembicaraan dan perbuatannya. (2) Apabila larangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masih juga tidak diindahkan oleh yang bersangkutan, Ketua Rapat/sidang meminta kepada yang bersangkutan meninggalkan rapat/sidang. (3) Apabila pembicara tersebut tidak mengindahkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembicara tersebut dikeluarkan dengan paksa dari ruang rapat/sidang atas perintah Ketua Rapat/sidang. (4) Yang dimaksud dengan ruang rapat/sidang pada ayat (3) adalah ruangan yang dipergunakan untuk rapat/sidang, termasuk ruangan untuk undangan dan peninjau.

Pasal 110 (1) Ketua Rapat/sidang dapat menutup atau menunda rapat/sidang apabila Ketua Rapat/sidang berpendapat bahwa rapat/sidang tidak mungkin dilanjutkan karena terjadi peristiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dan Pasal 109. (2) Lama penundaan rapat/sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.

Bagian ketujuh Risalah, Catatan Rapat, dan Laporan Singkat

Pasal 111 (1) Untuk setiap Sidang Paripurna, Sidang Paripurna Luar Biasa, Sidang Paripurna Khusus, Rapat Panitia Ad Hoc, Rapat Gabungan Panitia Ad Hoc, Rapat Panitia Perancang Undang-Undang, Rapat Panitia Musyawarah, dan Rapat Panitia Khusus dibuat risalah. (2) Risalah adalah rekaman pembicaraan dan catatan rapat yang dibuat secara lengkap dan berisi seluruh jalannya pembicaraan yang dilakukan dalam rapat serta dilengkapi dengan catatan tentang:

  1. jenis dan sifat rapat/sidang;
  2. hari dan tanggal rapat/sidang;
  3. tempat rapat/sidang;
  4. acara rapat/sidang;
  5. waktu pembukaan dan penutupan rapat/sidang;
  6. ketua dan sekretaris rapat/sidang;
  7. jumlah dan nama anggota yang menandatangani daftar hadir;
  8. undangan yang hadir. (3) Yang dimaksud dengan Sekretaris Rapat/sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f adalah pejabat di lingkungan Sekretariat Jenderal yang ditunjuk untuk itu.

Pasal 112 Risalah sebagaimana dimaksud pada Pasal 111 dibagikan kepada Anggota dan pihak yang bersangkutan pada rapat/sidang berikutnya.

Pasal 113 (1) Setelah rapat/sidang selesai, risalah sementara secepatnya dikirimkan kepada para Anggota rapat/sidang. (2) Dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah menerima risalah sementara, para Anggota yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk mengadakan koreksi dalam bagian risalah sementara tanpa mengubah maksud semula. (3) Setelah jangka waktu yang dimaksud pada ayat (2), risalah sementara ditetapkan menjadi risalah resmi. (4) Jika terdapat perbedaan tafsiran terhadap risalah rapat/sidang, pimpinan rapat/sidang menetapkan berdasarkan hasil rekaman.

Pasal 114 (1) Dalam setiap Rapat Pimpinan DPD, Rapat Badan Kehormatan, Rapat Panitia Ad Hoc, Rapat Gabungan Panitia Ad Hoc, Rapat Panitia Musyawarah, Rapat Panitia Urusan Rumah Tangga, Rapat Panitia Perancang Undang-Undang, Rapat Panitia Kerjasama Antar-Lembaga Perwakilan, dan Rapat Panitia Khusus dibuat Catatan Rapat dan Laporan Singkat oleh Sekretaris Rapat.

(2) Catatan Rapat adalah catatan yang memuat pokok pembicaraan, kesimpulan dan/atau keputusan yang dihasilkan dalam rapat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta dilengkapi dengan catatan tentang hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2).

(3) Laporan Singkat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat kesimpulan dan/atau keputusan rapat.

Pasal 115 (1) Sekretaris Rapat secepatnya menyusun Catatan Rapat sementara dan Laporan Singkat untuk segera dibagikan kepada Anggota dan pihak yang bersangkutan setelah rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) selesai. (2) Setiap Anggota dan pihak yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengadakan koreksi terhadap Catatan Rapat sementara dalam waktu 4 (empat) hari sejak diterimanya Catatan Rapat sementara tersebut dan menyampaikannya kepada Sekretaris Rapat yang bersangkutan.

Pasal 116 (1) Dalam risalah, catatan rapat, dan laporan singkat mengenai rapat yang bersifat tertutup, harus dicantumkan dengan jelas kata “rahasia”. (2) Rapat/sidang yang bersifat tertutup dapat memutuskan bahwa suatu hal yang dibicarakan dan/atau diputuskan dalam rapat/sidang itu tidak dimasukkan dalam risalah, catatan rapat, dan/atau laporan singkat.

Bagian Kedelapan Undangan, Peninjau, dan Wartawan

Pasal 117 (1) Undangan adalah:

  1. mereka yang bukan Anggota, yang hadir dalam rapat/sidang DPD atas undangan Pimpinan DPD; dan
  2. Anggota yang hadir dalam rapat alat kelengkapan DPD atas undangan Pimpinan Alat Kelengkapan DPD dan bukan Anggota alat kelengkapan yang bersangkutan. (2) Peninjau dan wartawan adalah mereka yang hadir dalam rapat/sidang DPD tanpa undangan Pimpinan DPD dengan mendapatkan persetujuan dari Pimpinan DPD atau pimpinan alat kelengkapan yang bersangkutan. (3) Undangan dapat berbicara dalam rapat/sidang atas persetujuan ketua rapat/sidang, tetapi tidak mempunyai hak suara. (4) Peninjau dan wartawan tidak mempunyai hak bicara dan hak suara serta tidak boleh menyatakan sesuatu, baik dengan perkataan maupun dengan cara lain. (5) Undangan, peninjau, dan wartawan disediakan tempat tersendiri. (6) Undangan, peninjau, dan wartawan wajib menaati tata tertib rapat/sidang dan/atau ketentuan lain yang diatur oleh DPD.

Pasal 118 (1) Pimpinan rapat/sidang menjaga agar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 tetap dipatuhi. (2) Pimpinan rapat/sidang dapat meminta agar undangan, peninjau, dan/atau wartawan yang mengganggu ketertiban rapat/sidang meninggalkan ruang rapat/sidang dan apabila permintaan itu tidak diindahkan, yang bersangkutan dikeluarkan dengan paksa dari ruang rapat/sidang atas perintah ketua rapat/sidang.

(3) Pimpinan rapat/sidang dapat menutup atau menunda rapat/sidang tersebut apabila terjadi peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Lama penundaan rapat/sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.

BAB XV PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN DPD

Pasal 119 (1) Proses pembuatan keputusan DPD dilakukan melalui 3 (tiga) tingkat pembicaraan. (2) Dalam hal penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang dari DPD dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.

Pasal 120 Tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) adalah:

  1. Tingkat I: Pembahasan oleh Sidang Paripurna DPD terhadap berbagai masalah yang berkaitan dengan tugas dan wewenang DPD yang didahului oleh penjelasan Pimpinan DPD dan dilanjutkan dengan penjelasan oleh Alat Kelengkapan DPD lainnya.
  2. Tingkat II: Pembahasan oleh Alat Kelengkapan DPD terhadap hasil pembicaraan Tingkat I yang dilakukan dengan urutan kegiatan sebagai berikut:
  1. Penyampaian pandangan dan pendapat anggota rapat/sidang terhadap materi yang ditugasi oleh Sidang Paripurna untuk dibahas lebih lanjut.
  2. Penyusunan daftar inventarisasi masalah berdasarkan bahan-bahan yang masuk.
  3. Pembahasan materi berdasarkan daftar inventarisasi masalah.
  4. Penyusunan materi rancangan keputusan DPD sebagai bahan untuk dilaporkan dan diambil keputusan dalam pembicaraan Tingkat III.
  1. Tingkat III: Pengambilan keputusan oleh Sidang Paripurna DPD yang didahului oleh laporan Alat Kelengkapan DPD mengenai hasil pembicaraan Tingkat II.

Pasal 121 Apabila dipandang perlu, Anggota dapat diberi kesempatan untuk mengajukan usul/pendapat dalam bentuk pokok-pokok pikiran pada tingkat pembicaraan I dan III.

Pasal 122 Dalam pembicaraan Tingkat II, Alat Kelengkapan DPD dapat didampingi oleh Pakar/Ahli/Tim Asistensi.

BAB XVI PROSES PENYUSUNAN DAN PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Bagian Pertama Tingkat Pembicaraan

Pasal 123

(1) Tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) adalah:

  1. Tingkat I dalam Rapat Panitia Ad Hoc, Rapat Gabungan Panitia Ad Hoc, Rapat Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau Rapat Panitia Khusus.
  2. Tingkat II dalam Sidang Paripurna. (2) Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berdasarkan urutan kegiatan sebagai berikut:
  3. Inventarisasi materi; dilakukan dalam bentuk penyerapan aspirasi masyarakat dan/atau daerah, Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan Rapat Dengar Pendapat Umum serta pandangan dan pendapat dari Anggota.
  4. Penyusunan dan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
  5. Penyusunan dan pembahasan naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang berdasarkan inventarisasi materi dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
  6. Uji sahih; dilakukan dalam bentuk Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, Rapat Dengar Pendapat Umum, dan telaahan sejawat (peer review).
  7. Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang. (3) Pembicaraan Tingkat II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah Pengambilan keputusan oleh Sidang Paripurna DPD yang didahului oleh laporan Alat Kelengkapan DPD mengenai hasil pembicaraan Tingkat I.

Pasal 124 Dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e dapat pula diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang hukum, politik, ekonomi, profesi atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 125 Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) huruf e diarahkan untuk mewujudkan keselarasan konsep Rancangan Undang-Undang dimaksud dengan Pancasila, Tujuan Nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan memuat kesesuaian unsur yuridis, sosiologis, serta politis.

Bagian Kedua Prakarsa Penyusunan Usul Rancangan Undang-Undang

Pasal 126 Usul Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD disusun berdasarkan tugas dan wewenang DPD.

Pasal 127 (1) Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau Panitia Ad Hoc dapat mengajukan Usul Rancangan Undang-Undang. (2) Sekurang-kurangnya ¼ (seperempat) dari jumlah anggota DPD juga dapat mengajukan Usul Pembentukan Rancangan Undang-Undang.

Pasal 128 (1) Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) beserta penjelasan/keterangan dan/atau naskah akademik disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang. (2) Usul Pembentukan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) beserta latar belakang, tujuan, dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama provinsi dan tanda tangan pengusul disampaikan secara tertulis kepada Panitia Perancang Undang-Undang. (3) Panitia Perancang Undang-Undang sebagai koordinator penyusunan Rancangan Undang-Undang DPD mengkoordinasikan dan mengkonsultasikan lebih lanjut proses penanganan Usul Rancangan Undang-Undang dan/atau Usul Pembentukan Rancangan Undang-Undang kepada Pimpinan DPD dan Panitia Musyawarah. (4) Dalam hal terdapat Usul Pembentukan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Panitia Perancang Undang-Undang melakukan Pembahasan, Harmonisasi, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Usul Pembentukan Rancangan Undang-Undang. (5) Hasil Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang kepada Pimpinan DPD sebagai Usul Rancangan Undang-Undang disertai penjelasan/keterangan dan/atau naskah akademis.

Pasal 129 (1) Anggota atau Panitia Ad Hoc pemrakarsa penyusunan Usul Rancangan Undang-Undang dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai Rancangan Undang-Undang yang akan disusun. (2) Penyusunan rancangan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan oleh Panitia Perancang Undang-Undang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada Perguruan Tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu.

Pasal 130 (1) Setelah Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) dan ayat (5) diterima oleh Pimpinan DPD, dalam Sidang Paripurna berikutnya Pimpinan memberitahukan dan membagikan kepada seluruh anggota. (2) Sidang Paripurna memutuskan apakah Usul Rancangan Undang-Undang dapat diterima menjadi Rancangan Undang-Undang usul DPD atau tidak. (3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :

  1. diterima tanpa perubahan;
  2. diterima dengan perubahan; atau
  3. ditolak. (4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diambil setelah Panitia Perancang Undang-Undang menyampaikan penjelasan dan pemrakarsa diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. (5) Dalam hal Usul Rancangan Undang-Undang diterima dengan perubahan, DPD menugasi Panitia Perancang Undang-Undang untuk membahas dan menyempurnakan Usul Rancangan Undang-Undang tersebut.

(6) Dalam hal Usul Rancangan Undang-Undang yang telah diterima tanpa perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) selanjutnya disampaikan kepada DPR dan Presiden dengan disertai surat pengantar Pimpinan DPD.

Pasal 131 (1) Pengusul berhak mengajukan perubahan selama Usul Rancangan Undang-Undang dan/atau Usul Pembentukan Rancangan Undang-Undang belum dibicarakan dalam Panitia Perancang Undang-Undang. (2) Pengusul berhak menarik usulnya kembali, selama Usul Pembentukan Rancangan Undang-Undang dan Usul Rancangan Undang-Undang belum diputuskan menjadi Rancangan Undang-Undang oleh Sidang Paripurna DPD. (3) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh pengusul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) dan ayat (2) serta disampaikan secara tertulis dengan memuat alasannya kepada Pimpinan DPD kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota.

Bagian Ketiga Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang Berasal dari DPD

Pasal 132 (1) Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak Usul Rancangan Undang-Undang disahkan menjadi Rancangan Undang-Undang maka Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan/keterangan dan/atau naskah akademis disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan surat pengantar dari Pimpinan DPD. (2) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan juga kepada Presiden. (3) Surat pengantar Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menyebut juga alat kelengkapan yang mewakili DPD dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut.

Pasal 133 (1) DPD melakukan pembahasan Usul Rancangan Undang-Undang bersama DPR atas undangan DPR. (2) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPD diwakili oleh Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau Panitia Ad Hoc yang membidangi materi muatan Rancangan Undang-Undang yang akan dibahas.

Pasal 134 (1) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 merupakan usul Rancangan Undang-Undang dari DPD sebagai bahan pembahasan DPR dengan Pemerintah. (2) Pada saat pembahasan Rancangan Undang-Undang antara DPR dengan Pemerintah, DPD diundang untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya mengenai Rancangan Undang-Undang yang diusulkannya pada awal pembicaraan tingkat I sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR.

Pasal 135 (1) Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, alat kelengkapan DPD yang ditugasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3), wajib menyampaikan laporan perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut secara berkala kepada seluruh Anggota dan Pimpinan DPD. (2) Apabila dalam pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat masalah yang sifatnya prinsipil dan akan mengubah isi serta arah Rancangan Undang-Undang, alat kelengkapan DPD yang ditugasi dapat meminta Pimpinan DPD untuk membahasnya dalam Sidang Paripurna yang khusus untuk itu. (3) Pembahasan dalam Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlebih dahulu mendengarkan laporan dari alat kelengkapan yang ditugasi dengan disertai saran pemecahan yang diperlukan, untuk memperoleh keputusan.

BAB XVII RANCANGAN UNDANG-UNDANG YANG BERASAL DARI DPR ATAU PEMERINTAH

Bagian Pertama Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang Berasal dari DPR atau Pemerintah

Pasal 136 (1) Setelah Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR atau Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b diterima oleh Pimpinan DPD, dalam Sidang Paripurna DPD berikutnya Pimpinan Sidang memberitahukan kepada Anggota masuknya Rancangan Undang-Undang tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. (2) DPD menugasi Panitia Ad Hoc/Panitia Perancang Undang-Undang untuk mem¬bahas dan/atau menyempurnakan Rancangan Undang-Undang sebagaimana di¬mak¬sud pada ayat (1) sebagai bahan dalam pembahasan bersama DPR dan Pemerintah. (3) Panitia Ad Hoc/Panitia Perancang Undang-Undang menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Sidang Paripurna DPD selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditugasi oleh Sidang Paripurna DPD.

Pasal 137 (1) DPD atas undangan DPR ikut melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) bersama DPR dan Pemerintah pada awal pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR. (2) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPD diwakili oleh Panitia Ad Hoc/Panitia Perancang Undang-Undang.

Pasal 138 (1) Dalam hal DPR dan/atau Pemerintah menolak masukan yang disampaikan oleh DPD dalam pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, DPD meminta penjelasan kepada DPR dan/atau Pemerintah. (2) Pimpinan DPD menerima penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis dari Pimpinan DPR dan/atau Pemerintah. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan DPD kepada seluruh Anggota. (4) DPD menyampaikan jawaban atas penjelasan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR atau Pemerintah di DPR, berlaku juga ketentuan Pasal 135.

BAB XVIII PERTIMBANGAN

Bagian Pertama Penyusunan Pertimbangan atas Rancangan Undang-Undang yang Berasal dari DPR atau Pemerintah

Pasal 139 (1) Setelah Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c diterima oleh Pimpinan DPD, dalam Sidang Paripurna DPD berikutnya Pimpinan Sidang memberitahukan kepada Anggota masuknya Rancangan Undang-Undang tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. (2) DPD menugasi Panitia Ad Hoc/Panitia Perancang Undang-Undang untuk menyusun pertimbangan atas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Panitia Ad Hoc/Panitia Perancang Undang-Undang menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Sidang Paripurna DPD selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditugasi. (4) Sidang Paripurna DPD memutuskan pertimbangan atas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diambil setelah Panitia Ad Hoc/Gabungan Panitia Ad Hoc/Panitia Perancang Undang-Undang menyampaikan laporan dan Anggota menyampaikan pendapatnya. (6) Keputusan DPD dalam Sidang Paripurna DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi pertimbangan DPD kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tersebut. (7) Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak pertimbangan atas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam Sidang Paripurna, Pimpinan DPD harus sudah menyampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR.

Bagian Kedua Pertimbangan Pemilihan Anggota BPK

Pasal 140 (1) Setelah Pimpinan DPD menerima surat dari Pimpinan DPR mengenai pencalonan Anggota BPK, dalam Sidang Paripurna DPD berikutnya Pimpinan Rapat/sidang memberitahukan kepada seluruh Anggota masuknya surat pencalonan Anggota BPK, kemudian membagikannya. (2) Dalam Sidang Paripurna DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPD menugasi Panitia Ad Hoc yang membidangi masalah yang bersangkutan untuk menyusun pertimbangan DPD. (3) Pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Panitia Ad Hoc yang bersangkutan, meliputi:

  1. pengajuan nama calon;
  2. penelitian administrasi;
  3. penyampaian visi dan misi; dan
  4. penentuan urutan calon. (4) Hasil pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan dalam Sidang Paripurna DPD untuk ditetapkan sebagai pertimbangan DPD. (5) Keputusan DPD dalam Sidang Paripurna DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi pertimbangan DPD kepada DPR dalam pemilihan Anggota BPK.

Pasal 141 Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (5) disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR selambat-lambatnya dalam 5 (lima) hari.

Pasal 142 (1) Dalam hal DPR menolak materi muatan pertimbangan yang diusulkan oleh DPD, DPD meminta penjelasan kepada DPR. (2) Pimpinan DPD menerima penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis dari Pimpinan DPR. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan DPD kepada seluruh Anggota dalam Sidang Paripurna. (4) DPD dapat menyampaikan jawaban atas penjelasan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Pembahasan dan penyelesaian terhadap jawaban DPD atas penjelasan DPR se¬bagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku ketentuan dalam Pasal 140.

BAB XIX HASIL PEMERIKSAAN BPK

Pasal 143 (1) DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK dalam bentuk hasil pemeriksaan semester yang disampaikan oleh Pimpinan BPK kepada Pimpinan DPD dalam acara yang khusus diadakan untuk itu. (2) Setelah hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima oleh Pimpinan DPD, dalam Sidang Paripurna DPD berikutnya Pimpinan Sidang memberitahukan kepada Anggota masuknya hasil pemeriksaan keuangan negara tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh anggota. (3) DPD menugasi Panitia Ad Hoc untuk membahas hasil pemeriksaan BPK setelah diberi kesempatan kepada BPK untuk menyampaikan penjelasan dan Anggota diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat. (4) Panitia Ad Hoc menyampaikan laporan pembahasan atas hasil pemeriksaan BPK dalam Sidang Paripurna DPD untuk ditetapkan sebagai masukan DPD. (5) Masukan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada DPR dengan surat pengantar dari Pimpinan DPD untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi DPR untuk ditindaklanjuti.

Pasal 144 (1) Dalam hal DPR dan/atau Pemerintah tidak menindaklanjuti masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (5), DPD meminta penjelasan kepada DPR dan/atau Pemerintah. (2) Pimpinan DPD mendapat penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis dari Pimpinan DPR dan/atau Pemerintah. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan DPD kepada seluruh Anggota dalam Sidang Paripurna. (4) DPD menyampaikan jawaban atas penjelasan DPR dan/atau Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Pembahasan dan penyelesaian terhadap jawaban DPD atas penjelasan DPR dan/atau Pemerintah sebagai¬mana dimaksud pada ayat (2), berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5).

BAB XX KONSULTASI DENGAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA

Pasal 145 (1) Konsultasi antara Pimpinan DPD dengan Pimpinan lembaga negara lain dilaksanakan sesuai dengan hasil Rapat Koordinasi DPD. (2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan atas prakarsa DPD maupun atas permintaan pimpinan lembaga negara lainnya. (3) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk:

  1. pertemuan antara Pimpinan DPD dengan pimpinan lembaga negara lainnya;
  2. pertemuan antara Pimpinan DPD bersama unsur alat kelengkapan DPD sesuai dengan ruang lingkup tugasnya dengan pimpinan lembaga negara lainnya;
  3. pertemuan antara Pimpinan DPD bersama seluruh Anggota dengan pimpinan lembaga negara lainnya.

BAB XXI KEGIATAN ANGGOTA DI DAERAH

Bagian Pertama Umum

Pasal 146 Kegiatan Anggota di daerah yang diwakilinya dilakukan untuk:

  1. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masya¬rakat dan daerah pemilihannya masing-masing yang berada dalam ruang lingkup tugas dan wewenang DPD;
  2. menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas dan we¬we¬nangnya di daerah pemilihan¬nya masing-masing;
  3. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.

Bagian Kedua Kegiatan Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah

Pasal 147 (1) Selain melalui Rapat Dengar Pendapat Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan melalui kunjungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5) huruf d dan Pasal 49 ayat (2) huruf d, Anggota menerima penyampaian aspirasi masyarakat dan daerah pada saat melakukan kegiatan di daerah yang diwakilinya. (2) Anggota atau Perwakilan Provinsi yang bersangkutan menyampaikan hasil kegiatan di daerah yang diwakilinya pada Sidang Paripurna setiap awal masa sidang. (3) Panitia Ad Hoc, Anggota, atau pengelompokan Anggota yang dibentuk oleh DPD menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah.

Pasal 148 (1) Pimpinan DPD menerima dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan daerah kepada alat kelengkapan DPD sesuai dengan ruang lingkup tugas dan wewenangnya atau Perwakilan Provinsi yang bersangkutan yang difasilitasi oleh Sekretariat Jenderal. (2) Pada saat Anggota melakukan kunjungan kerja dan kegiatan di daerah yang diwakilinya, Sekretariat Jenderal berkoordinasi dengan Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD menerima dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan daerah kepada Anggota.

(3) Teknis penyampaian aspirasi masyarakat dan daerah secara langsung diatur lebih lanjut oleh Sekretariat Jenderal.

Bagian Ketiga Akuntabilitas

Pasal 149 (1) Anggota menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada saat Anggota melakukan kegiatan di daerah pemilihannya. (2) Pengaturan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan penyampaian perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Keputusan Panitia Musyawarah.

Bagian Keempat Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang di Bidang Tertentu

Pasal 150 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf e dilakukan oleh Panitia Ad Hoc dan dapat dilakukan oleh Tim yang dibentuk oleh Panitia Ad Hoc, Anggota, Kelompok Provinsi, atau pengelompokkan kepentingan lain Anggota. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Panitia Ad Hoc yang membidangi masalah yang bersangkutan. (3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan oleh Panitia Ad Hoc yang bersangkutan dalam Sidang Paripurna DPD. (4) Dalam Sidang Paripurna DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPD menugasi Panitia Ad Hoc yang membidangi masalah yang bersangkutan untuk menyusun Pertimbangan DPD kepada DPR selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja. (5) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti.

Pasal 151 (1) Dalam hal DPR tidak menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD, DPD meminta penjelasan kepada DPR. (2) Pimpinan DPD mendapat penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis dari Pimpinan DPR. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan DPD kepada seluruh Anggota dalam Sidang Paripurna. (4) DPD menyampaikan jawaban atas penjelasan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Pembahasan dan penyelesaian terhadap jawaban DPD atas penjelasan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku ketentuan dalam Pasal 139.

BAB XXII TATA CARA PENYAMPAIAN HAK ANGGOTA

Bagian Pertama Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat

Pasal 152 (1) Setiap Anggota mempunyai hak untuk dapat menyampaikan usul dan pendapat perseorangan atau bersama-sama mengenai suatu hal dan/atau suatu permasalahan, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat/sidang. (2) Tata cara penyampaian usul dan pendapat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103.

Bagian Kedua Hak Memilih dan Dipilih

Pasal 153 Setiap Anggota mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki suatu jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPD sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Bagian Ketiga Hak Membela Diri

Pasal 154 (1) Setiap Anggota mempunyai hak membela diri dan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan dan/atau memberikan keterangan kepada Badan Kehormatan atas dugaan pelanggaran Kode Etik. (2) Tata cara pembelaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan oleh Badan Kehormatan.

Bagian Keempat Hak Imunitas

Pasal 155 (1) Anggota tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat/sidang DPD dan selama melaksanakan tugas sebagai Anggota DPD sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan tata tertib dan kode etik DPD. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal Anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat/sidang tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam buku kedua Bab I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (3) Anggota tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat/sidang DPD.

Bagian Kelima Hak Protokoler serta Hak Keuangan dan Administrasi

Pasal 156 (1) Kedudukan protokoler, keuangan dan administratif, Pimpinan DPD dan Anggota diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengelolaan keuangan DPD dilaksanakan oleh Pimpinan DPD sesuai dengan undang-undang. (3) Pengelolaan sehari-hari keuangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diserahkan kepada Sekretariat Jenderal. (4) Sekretaris Jenderal secara berkala melaporkan pengelolaan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Pimpinan DPD.

BAB XXIII KEPUTUSAN DPD

Bagian Pertama Pengambilan Keputusan DPD

Pasal 157 (1) Pengambilan keputusan adalah proses penyelesaian akhir suatu masalah yang dibicarakan dalam setiap jenis rapat/sidang DPD. (2) Semua jenis rapat/sidang DPD dapat mengambil keputusan. (3) Keputusan rapat/sidang DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beru¬pa penerimaan tanpa perubahan, penerimaan dengan perubahan atau penolakan.

Pasal 158 (1) Pengambilan keputusan dalam rapat/sidang DPD pada dasarnya diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. (2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 159 (1) Setiap rapat/sidang DPD dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah Anggota rapat/sidang. (2) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, rapat/sidang ditunda sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam. (3) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga tercapai, cara penyelesaiannya diserahkan kepada Pimpinan DPD.

Pasal 160 Setiap keputusan rapat/sidang DPD, baik berdasarkan mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, mengikat semua pihak yang terkait.

Bagian Kedua Keputusan Berdasarkan Mufakat

Pasal 161 (1) Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada anggota rapat/sidang yang hadir diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, yang kemudian dipandang cukup untuk diterima oleh rapat/sidang sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan. (2) Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat/sidang yang dihadiri oleh Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1), dan disetujui oleh semua yang hadir.

Bagian Ketiga Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak

Pasal 162 Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat tidak tercapai karena adanya pendirian sebagian Anggota rapat/sidang yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian Anggota rapat/sidang yang lain.

Pasal 163 (1) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dapat dilakukan secara terbuka atau secara rahasia. (2) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak secara terbuka dilakukan apabila menyangkut kebijakan. (3) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak secara rahasia dilakukan apabila menyangkut orang atau masalah lain yang dipandang perlu.

Pasal 164 (1) Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila diambil dalam rapat/sidang yang dihadiri oleh Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1), dan disetujui oleh lebih dari separuh jumlah Anggota yang hadir.

(2) Apabila karena sifat masalah yang dihadapi tidak mungkin dicapai putusan dengan 1 (satu) kali pemungutan suara, pimpinan rapat/sidang mengusahakan agar diperoleh jalan keluar yang disepakati atau melaksanakan pemungutan suara secara berjenjang.

Pasal 165 (1) Pemberian suara secara terbuka untuk menyatakan setuju, menolak, atau tidak menyatakan pilihan (abstain) dilakukan oleh Anggota rapat/sidang yang hadir dengan cara lisan, mengangkat tangan, berdiri, tertulis, atau dengan cara lain yang disepakati oleh Anggota rapat/sidang. (2) Penghitungan suara dilakukan dengan menghitung secara langsung setiap anggota rapat/sidang. (3) Anggota yang meninggalkan sidang (walk out) dianggap telah hadir dan tidak mempengaruhi sahnya keputusan. (4) Apabila hasil pemungutan suara tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1), dilakukan pemungutan suara ulang.

(5) Apabila hasil pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1) masalahnya menjadi batal.

Pasal 166 (1) Pemberian suara secara rahasia dilakukan dengan tertulis, tanpa mencantumkan nama, tanda tangan, atau tanda lain yang dapat menghilangkan sifat kerahasiaan. (2) Pemberian suara secara rahasia dapat juga dilakukan dengan cara lain yang tetap menjamin sifat kerahasiaan. (3) Apabila hasil pemungutan suara tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1), dilakukan pemungutan suara ulang. (4) Apabila hasil pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1), masalahnya menjadi batal, kecuali menyangkut orang.

BAB XXIV KESEKRETARIATAN

Bagian Pertama Kedudukan

Pasal 167 (1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPD dibentuk sekretariat jenderal yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan personilnya terdiri atas pegawai negeri sipil. (2) Sebelum Sekretariat Jenderal DPD terbentuk maka tugasnya dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal MPR.

Bagian Kedua Susunan

Pasal 168 (1) Sekretariat Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPD. (2) Sekretaris Jenderal dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal dan beberapa deputi.

Pasal 169 (1) Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Pimpinan DPD. (2) Pimpinan DPD mengajukan usul kepada Presiden mengenai pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal.

Pasal 170 (1) Atas permintaan DPD, Sekretariat Jenderal mengangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan yang bertugas membantu kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi DPD. (2) Para pakar/ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelompok pakar/ahli untuk mendukung pelaksanaan tugas alat kelengkapan DPD. (3) Para pakar/ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelompok pakar/ahli di bawah koordinasi Sekretariat Jenderal.

(4) Untuk membantu pelaksanaan tugas Alat Kelengkapan DPD, Sekretariat Jenderal dapat membentuk Tim Asistensi. (5) Pakar/ahli dan/atau Tim Asistensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) yang hadir dalam rapat/sidang DPD atas undangan Alat Kelengkapan DPD yang bersangkutan, memiliki hak berbicara atas izin Pimpinan Rapat/sidang.

Pasal 171 (1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPD di daerah dibentuk sekretariat di daerah pemilihan Anggota masing-masing. (2) Sekretariat di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah koordinasi Sekretariat Jenderal.

Pasal 172 Susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan Presiden, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga Tugas

Pasal 173 Tugas Sekretariat Jenderal adalah:

  1. memberikan dukungan administratif dan keahlian kepada DPD;
  2. melaksanakan kebijakan kerumahtanggaan DPD yang telah ditentukan oleh Pimpinan DPD, termasuk kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal;
  3. membantu Pimpinan DPD dalam menyiapkan penyusunan rancangan anggaran DPD dengan ketentuan:
  1. hasil penyusunan rancangan anggaran DPD sebelum disampaikan kepada Pimpinan DPD terlebih dahulu disampaikan kepada Panitia Urusan Rumah Tangga untuk diadakan penelitian dan penyempurnaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c angka 1;
  2. dalam proses penyelesaian rancangan anggaran DPD selanjutnya, Sekretariat Jenderal bersama Panitia Urusan Rumah Tangga memusyawarahkan penetapan pagu anggaran DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c angka 2;
  1. melaksanakan hal lain yang ditugaskan oleh Pimpinan DPD;
  2. melaporkan secara tertulis pelaksanaan tugasnya selama Tahun Sidang yang lalu kepada Pimpinan DPD pada setiap permulaan Tahun Sidang dalam Sidang Paripurna DPD.

Pasal 174 Semua keputusan DPD yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang berhubungan dengan DPR dan Pemerintah disebarluaskan oleh Sekretariat Jenderal kepada masyarakat dan daerah baik secara langsung atau melalui media massa.

BAB XXV SURAT KELUAR DAN SURAT MASUK

Bagian Pertama Ketentuan Umum

Pasal 175 Tata cara pencatatan surat masuk dan surat keluar serta penanganan selanjutnya baik surat yang bersifat terbuka, tertutup, maupun rahasia, diatur oleh Sekretariat Jenderal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua Surat Masuk

Pasal 176 (1) Surat yang dialamatkan kepada DPD diterima oleh Sekretariat Jenderal dan segera dicatat serta diberi nomor agenda. (2) Surat masuk kecuali yang menyangkut tugas intern Sekretariat Jenderal segera dijawab oleh Sekretariat Jenderal atas nama Pimpinan DPD yang memberitahukan kepada pengirim bahwa suratnya telah diterima, dan apabila masalahnya sedang dalam proses pengolahan, hal ini dapat diberitahukan kepada pengirim surat.

Pasal 177 (1) Surat masuk beserta tembusan surat jawaban, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ayat (2), disampaikan oleh Sekretaris Jenderal kepada Pimpinan DPD. (2) Pimpinan DPD menentukan apakah surat masuk tersebut sesuai dengan permasa¬lahannya akan ditangani sendiri atau dite¬ruskan kepada Alat Kelengkapan lain DPD. (3) Apabila Pimpinan DPD memandang perlu, surat masuk dapat diperbanyak dan dibagikan kepada seluruh Anggota.

Pasal 178 (1) Kepala Bagian Sekretariat Alat Kelengkapan DPD setelah menerima surat membuat daftar penerimaan surat, yang memuat dengan singkat pokok isi surat, dan segera menyampaikannya kepada Pimpinan Alat Kelengkapan DPD yang bersangkutan. (2) Pimpinan Alat Kelengkapan DPD dalam rapat pimpinan membicarakan isi surat masuk serta cara penyelesaian selanjutnya. (3) Apabila Pimpinan DPD memerlukan penjelasan tentang isi surat jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masalahnya akan dibicarakan dengan pimpinan Alat Kelengkapan DPD yang bersangkutan.

Bagian Ketiga Surat Keluar

Pasal 179 (1) Konsep surat jawaban dan/atau tanggapan terhadap surat masuk yang dibuat oleh Alat Kelengkapan DPD disampaikan kepada Pimpinan DPD melalui Sekretaris Jenderal. (2) Apabila isi surat jawaban yang dibuat oleh Alat Kelengkapan DPD disetujui oleh Pimpinan DPD, surat jawaban tersebut segera dikirimkan kepada alamat yang bersangkutan.

(3) Apabila isi surat jawaban, sebagai¬mana dimaksud pada ayat (2), tidak disetujui oleh Pimpinan DPD, masalahnya akan dibicarakan dengan Pimpinan Alat Kelengkapan DPD yang bersangkutan. (4) Apabila pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghasilkan kesepakatan, masalahnya diajukan kepada Panitia Musyawarah untuk ditentukan penyelesaian selanjutnya.

Pasal 180 (1) Surat keluar, termasuk surat undangan rapat DPD, ditandatangani oleh salah seorang anggota Pimpinan DPD atau Sekretaris Jenderal atas nama Pimpinan DPD RI. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Pimpinan DPD.

Pasal 181 (1) Pengiriman surat keluar dilakukan oleh Sekretariat Jenderal. (2) Sebelum dikirimkan kepada alamat yang bersangkutan, semua surat keluar dicatat dan diberi nomor agenda. (3) Sekretariat Jenderal menyampaikan tembusan surat keluar kepada Alat Kelengkapan DPD yang bersangkutan dan kepada pihak yang dipandang perlu. (4) Apabila Pimpinan DPD memandang perlu, surat keluar dapat diperbanyak dan dibagikan kepada seluruh Anggota.

Bagian Keempat Arsip Surat

Pasal 182 Tata cara penyusunan arsip surat masuk dan surat keluar diatur oleh Sekretaris Jenderal.

BAB XXVI LAMBANG DAN TANDA ANGGOTA

Bagian Pertama Lambang

Pasal 183 DPD memiliki lambang.

Pasal 184 (1) Lambang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, terdiri atas garuda di tengah-tengah, padi dan kapas yang melingkari garuda, serta pita dengan huruf DPD-RI, yang berbentuk bulat dengan batasan :

  1. sebelah kanan: kapas sejumlah 17 (tujuh belas) buah;
  2. sebelah kiri: padi sejumlah 45 (empat puluh lima) buah;
  3. sebelah bawah: tangkai padi dan kapas yang diikat dengan pita dan di atasnya ada pita lain yang bertuliskan DPD-RI. (2) Perisai Garuda dengan warna-warni sesuai dengan warna aslinya menurut peraturan perundang-undangan.

Pasal 185 (1) Penggunaan lambang DPD berbentuk lencana dipakai pada saat melaksanakan tugas sebagai Anggota, dengan ketentuan:

  1. berukuran kecil, disematkan di lidah jas bagian kiri untuk Anggota pria atau wanita dan disematkan di dada kiri pakaian nasional untuk Anggota wanita; berukuran kecil, disematkan di lidah jas bagian kiri untuk Anggota pria atau wanita dan disematkan di dada kiri pakaian
  2. berukuran besar, disematkan di dada sebelah kiri bagi Anggota yang tidak memakai jas atau pakaian nasional. (2) Penggunaan lambang DPD bukan lencana diatur lebih lanjut dengan keputusan Pimpinan DPD.

Bagian Kedua Tanda Anggota

Pasal 186 Setiap Anggota mempunyai tanda anggota berbentuk Kartu Anggota yang ditandatangani oleh Ketua DPD.

BAB XXVII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 187 (1) Segala pedoman dan pengaturan internal DPD lain yang telah ada, agar disesuaikan dengan Peraturan Tata Tertib ini. (2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya dilakukan dalam 6 (enam) bulan sejak keputusan ini ditetapkan.

BAB XXVIII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 188 (1) Usul perubahan Peraturan Tata Tertib DPD dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 32 (tiga puluh dua) orang Anggota atau Alat Kelengkapan DPD. (2) Usul perubahan yang berasal dari Anggota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan penjelasannya, diajukan secara tertulis kepada Pimpinan DPD yang disertai dengan daftar nama dan tanda tangan pengusul. (3) Usul perubahan yang berasal dari alat kelengkapan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan penjelasannya, diajukan secara tertulis oleh pimpinan alat kelengkapan kepada Pimpinan DPD.

Pasal 189 (1) Usul perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 disampaikan oleh Pimpinan DPD di dalam Sidang Paripurna untuk diambil keputusan. (2) Dalam hal usul perubahan disetujui, Sidang Paripurna menugaskan Panitia Perancang Undang-Undang untuk melakukan pembahasan. (3) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Sidang Paripurna untuk diambil keputusan.

Pasal 190 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.